Minggu, 08 Juni 2008

akidah keberagamaan internal dan eksternal

'AQIDAH KEBERAGAMAAN INTERNAL DAN EKSTERNAL
(Sesama Muslim dan Antar Agama)


A. Agama dan Keberagamaan
Agama merupakan sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan, keimanan dan kepercayaan seseorang. Dalam hal ini, agama dipandang dan diteliti tidak secara sepihak atau memandang agamanya lebih baik dan menghina agama lain. Namun, pemahaman agama di pandang secara obyektif mengenai kebenarannya dengan sikap yang relatif.

Istilah agama
[1] ditunjuk dengan menggunakan kata religi. Terma agama yang berasal dari kata religi (dari asal kata relegere) mempunyai arti mengumpulkan dan membaca. Artinya, agama merupakan kumpulan tata cara beribadah kepada Tuhan. Selain itu, religi juga mempunyai arti mengikat (dari asal kata religare).[2]

Agama mencakup tiga dimensi :
(1) keyakinan (akidah)
(2) hukum (syariat), dan
(3) norma (akhlak).
Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan, dan tidak boleh dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
[3]

Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki kedudukan yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristian, Yahudi atau yang lainnya.

B. Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.
[4]
Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fastabikhul khairat).[5]

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
[6]

C. Fakta dan keniscayaan pluralisme
Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.
Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah yag dikutif Rachman mengatakan bahwa realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.
[7]
Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
D. Pluralisme keagamaan dan praksis sosial
Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.
[8]
Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan.[9] Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.
Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.


E. Sumber Eksklusivism
[10]
Sumber eksklusivisme agama itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari rumusan yang dianggap suci dari beberapa agama. Sebagai contoh seperti dalam Katolik Roma sebelum Konsili Vatikan II, yaitu "Extra Ecclesian nulla sakus" yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja.[11] Atau dengan kata lain, tidak ada keselamatan di luar penganut Kristen, kecuali ia mengikuti kekristenan itu sendiri. Dalam agama Yahudi, konsep "bangsa terpilih" (people chosen), seperti disebut dalam Kitab Eksodus (Keluaran) 19:5-6 dan Deutoronomi 10:14-15, membawa pengertian bahwa bangsa/umat manusia lain selain Yahudi adalah makhluk yang rendah, tidak dijanjikan keselamatan oleh Tuhan. Implikasinya adalah Tuhan agama Yahudi akan jatuh dalam bentuk rasisme.[12]

Dalam Islam sendiri, konsep eksklusivisme agama sering dilihat dari penafsiran ayat Qur'an yang menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam,
[13] atau kalimat "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi".[14] Bahkan rumusan ayat lainnya menyatakan "…Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam".[15] Rumusan kalimat teks Qur'an itu sering membawa implikasi buruk ketika ditafsirkan secara naif untuk menghadapi kelompok agama/umat lainnya saat kepentingan-kepentingan bersifat imanen (ekonomi, politik, atau status sosial) terancam. Atau di antara sesama Muslim sendiri, ada penjustifikasian teks-teks Qur'an bahwa kelompok yang berbeda dapat dianggap "kafir" lantaran tidak sejalan dengan garis pemahaman keagamaan kelompoknya.

Klaim-klaim kebenaran atas teks suci agama itu, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan yang menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia kepada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan (keselamatan) itu sendiri. Dalam aras yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu nampak dalam sikap anti-dialog, isolasionis, dan antagonis baik kepada umat agama lain maupun terhadap sesama umat agamanya dari kelompok (mazhab) yang berbeda.
[16]

F. 'Aqidah Keberagamaan Sesama Muslim dan Antar Agama
Sebagai salah satu dasar kebebasan beragama, adalah sebuah arti ayat al-Qur'an, yang dipaparkan sebagai berikut:
"Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah."
[17] Sebab nuzul (historis turunnya) ayat tersebut diriwayatkan, ada seorang sahabat dari kaum Ansar yang bernama Hasin telah masuk Islam, dia mempunyai dua orang anak yang keduanya beragama Nasrani dan tidak mau beragama kecuali Nasrani. Hasin mengadukan dan minta izin kepada Nabi Muhammad untuk memaksa kedua anak tersebut masuk Islam, maka diturunkan ayat tersebut sebagai jawaban atas kasus di atas.[18]

Dalam konteks hubungan antar umat beragama diperlukan adanya toleransi beragama sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an:
"Katakanlah wahai ahl al-kitab!. Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan lainnya, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah."
[19]

Menurut Quraish Shihab,
[20] ayat tersebut menjadi dasar untuk hidup berdampingan di antara berbagai pengikut agama, sehingga mereka dapat menerapkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran dan kebaikan tanpa memaksakan pendapat terhadap orang lain, dan dalam waktu yang sama tanpa mengabaikan kepercayaannya yang mutlak itu. Memang toleransi beragama adalah dalam konteks sosiologis bukan teologis.[21]

Berbicara tentang konteks sosiologis, Konsep toleransi beragama Nabi dapat dilihat dalam peristiwa ketika kaum Kristen Nasrani berkunjung ke Madinah. Nabi mengizinkan mereka berdoa di tempat kediaman Nabi.
[22] Dalam suatu peristiwa lain, Nabi pernah bersabda yang artinya, "berhati-hatilah barang siapa berlaku kejam dan kasar terhadap orang-orang ini (kafir), membasmi hak-hak mereka, membebani sesuatu di luar kemampuannya, atau membuat suatu perbuatan yang dapat mengurangi kebebasan mereka, maka aku sendiri yang akan mengadukan kepada Allah pada hari kiamat.[23]

Di muka telah dikemukakan bahwa Islam memiliki eksklusivisme tersendiri, yang dianggap sebagai ciri identitas di antara agama-agama (keimanan) lainnya. Jika dicermati, teks Islam seperti dalam Qur'an itu sendiri mengakui keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Pengakuan eksistensi agama-agama lain dalam Islam merupakan prinsip toleransi Islam terhadap pluralitas agama. Prinsip toleransi Islam itu dapat dilihat yang secara eksplisit dalam Firman Allah:
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
[24]

Dari rumusan (terjemahan) ayat Qur'an itu nampak sekali bahwa dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan itu adalah kehendak Allah. Pada gilirannya, seseorang tidak punya hak untuk menghakimi benar-salah keyakinan seseorang, kecuali diserahkan semuanya kepada Allah semata. Karena Allah sajalah yang berhak memberikan hidayah dan jalanNya kepada siapaun.
[25]

Islam juga mengajarkan sikap saling menghormati antara berbagai komunitas manusia beriman.
[26] Dalam kehidupan sosial, sikap ini ditunjukkan dengan sikap saling menolong/bekerja sama tanpa diskriminasi keyakinan dan perilaku yang salah.Di samping itu, Islam pun mengajarkan keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam dalam diri manusia, sehingga kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah (sunnatullah) dari prinsip tersebut. Keseluruhan ajaran Islam mengenai pluralitas agama itulah yang oleh Roy P.Mottahedeh dianggap sebagai prinsip "teologi toleransi" dalam Islam.[27]

G. Keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dengan toleransi.
Toleransi ada dua macam:
1.Toleransi intern umat Islam.
Tolerasi ini yang biasa kita sebut (untuk kami amalan kami dan untuk kalian amalan kalian). Misalnya; Ada yang shalat shubuh dengan membaca qunut dan ada yang tidak. Semua itu adalah alternatif. Dulu, para pemimpin Muhammadiyah dan NU itu tidak meributkan masalah qunut karena sama-sama ngerti, misalnya pada zaman Pak Idham dan Pak Buya Hamka.
[28]

Ini adalah tasamuh (toleransi) di antara muslimin. selama tidak ada inhiraf (keluar dari batas syari'at). Tasamuh bisa diartikan mau memegangi pendapat sendiri, akan tetapi mau mengerti pendapat saudaranya sesama muslim. Jadi, jangan memonopoli kebenaran, kecuali yang bersifat qath'iy. Kalau masih bersifat dzanny, yaitu sesuatu yang termasuk daerah pemikiran dan daerah ijtihad, maka harus ada keseimbangan di antara ilmu dan toleransi.
2. Toleransi umat Islam dengan Non muslim.
Kenapa harus ada toleransi terhadap non muslim?, karena di dalam Islam itu kalau diibaratkan rumah, di sana ada teras yang bisa dipakai untuk mengerti non-muslim. Mengerti bukan berarti setuju. Kalaupun kita memaksa umat Kristen untuk masuk Islam, itu sia-sia saja, karena Islamnya tidak sah. Firman Allah SWT:

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui."
[29]

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."
[30]
Yang bisa kita lakukan adalah berdakwah kepada mereka sebisa-bisanya. Adapun mereka mau menerima atau tidak, semua itu adalah urusan Allah SWT.

KESIMPULAN
1. Islam: agama persamaan.
Inti dari ajaran Islam adalah tauhid, dimana seluruh manusia adalah ciptaan Tuhan yang Esa, sehingga seluruh manusia dimuliakan dan berkedudukan sama, tanpa membedakan warna kulit, kelas sosial, suku bangsa, dan ras.
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam…"(17:70)
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (49:13)
Maka sikap yang relevan dengan hal ini adalah semangat memperbaharui keimanan dan aqidah kita, dengan sikap ini kita tidak akan mendiskriminasikan pemeluk agama lain, dan memberikan keleluasaan kepada pemeluk agama lain untuk mengimplementasikan ajarannya masing-masing.
2. Islam memandang suci kehidupan manusia.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya… (5:32)

Maka kita harus mengembangkan semangat persaudaraan, karena pada hakekatnya sesama kita adalah saudara, walaupun berbeda suku, ras, maupun agama.
3. Keadilan dan Persamaan Hukum.
Islam mengajarkan umatnya untuk menyelesaikan semua persoalan dengan adil, apapun konsekuensinya. Dimata hukum dan keadilan tidak ada perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (5:8)
Semangat keadilan, karena setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum
4. Tidak ada paksaan dalam beragama.
Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama dan orang yang berbeda agama dilarang untuk dipaksa masuk Islam. Tajamnya pedang Islam hanyalah untuk para aggressor, mereka yang ingin menghancurkan Islam dan Muslim, dan mereka yang membuat kerusakan di bumi.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (2:256)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (2:190)
Semangat toleransi dan menghargai keyakinan agama lain, sikap tegas ketika berhadapan dengan orang-orang yang memerangi dan membuat fitnah dengan tujuan menegakan keadilan dan kehormatan agama.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad Pluralitas Agama Menurut al-Qur'an: Telaah Aqidah dan Syari'ah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Hasan al-Hamasi, Muhammad, Qur'an Karim Tafsir wa Bayan, Dimasyq: Dar ar-Rasyd, tt.

http://.multiply.com/journal/item/8

http://www.alt.culture.indonesia.com

http://nomind.3.forumer.com/a/post24.html

http://nomind.3.forumer.com/a/post24.html

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992.

http://www.mils.fpk google.file
http://mylazuardi.multiply.com/journal/item/8

Mottahedeh, Rpy P., Akar Islam bagi Teologi Toleransi, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, et.al., Dekonstruksi Syari'ah (II), terjemahan Islamic Law Reform and Human Rights, Chalenge and Rejoinders oleh Farid Wajidi, Yogyakarta: Lkis, 1996.

Nasution., dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.



[1] Ada sejumlah istilah yang dipakai untuk menyebut "agama". Di samping kata agama itu
sendiri, dipakai juga istilah religi dan ad-din. Namun istilah yang populer dalam bahasa Indonesia adalah "agama" daripada religi dan ad-din. Muhammad Amin Suma, Pluralitas Agama Menurut al-Qur'an: Telaah Aqidah dan Syari'ah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 9. Kata agama adalah kata sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Siwa. Salah satu akar kata yang menerangkan kata tersebut adalah dari gam, yang mendapat awalan a dan akhiran a, sehingga menjadi a-gam-a. Dalam bahasa Belanda dan Ingris ditemukan kata-kata ga/gaan (Belanda) dan go (Inggris) yang mempunyai arti sama dengan gam, yaitu pergi. Setelah mendapat awalan dan akhiran a, maka pengertiannya berubah menjadi jalan. Harun Nasution., dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 63.
[2] http://.multiply.com/journal/item/8 diakses tanggal 13 Mei 2008
[3] Lubis, lihat http://www.alt.culture.indonesia.com diakses tanggal 13 Mei 2008
[4] Saeful Anwar, Teologi Keberagamaan Pluralisme liberatif, artikel, lihat http://www.Pluralisme.faithfreedom.org.htm diakses tanggal 13 Mei 2008.
[5] Ibid.

[6] Ibid.
[7] Rachman, Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
[8] Ibid.
[9] Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, lihat http://www.osdir.htm.com diakses tanggal 13 Mei 2008
[10] Eksklusivisme adalah Paham yang dianut oleh kelompok atau golongan masyarakat tertentu dengan kecenderungan memisahkan diri dari golongan masyarakat yang lain. Tim Pena Prima, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), hlm. 104.
[11] Lihat http://nomind.3.forumer.com/a/post24.html diakses tanggal 13 Mei 2008
[12] Ibid.,
[13] Q.S. Ali Imran, 3: 19.
[14] Q.S. Ali Imran, 3: 185.
[15] Q.S. Ali Imran, 3: 102.
[16] Lihat http://nomind.3.forumer.com/a/post24.html diakses tanggal 13 Mei 2008

[17] Al-Baqarah (2) : 256.
[18] Muhammad Hasan al-Hamasi, Qur'an Karim Tafsir wa Bayan (Dimasyq: Dar ar-Rasyd, tt.), hlm. 83.
[19] Ali Imran (3) : 64.
[20] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 221.
[21] Ibid.
[22] Dikutip oleh Barmawi Mukri, "HAM dan Kebebasan Beragama dalam Islam", lihat http://www.mils.fpk google.file diakses tanggal 13 Mei 2008
[23] Ibid.
[24] Q.S. Yunus, 10:99.
[25] Q.S. An-Nahl, 16: 125.
[26] Q.S. Al-An'am, 6: 108.
[27] Mottahedeh, Rpy P., Akar Islam bagi Teologi Toleransi, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, et.al., Dekonstruksi Syari'ah (II), terjemahan Islamic Law Reform and Human Rights, Chalenge and Rejoinders oleh Farid Wajidi, (Yogyakarta: Lkis, 1996).hlm. 27-39
[28] Lihat http://mylazuardi.multiply.com/journal/item/8


[29] Q.S. Al-Baqarah, 2: 256
[30] Q.S. Al-Qashshash, 28: 56

Tidak ada komentar: