Rabu, 28 Mei 2008

kritik matan hadis ibnu majah 1976

KRITIK MATAN



Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah-pun dapat terjadi perbedaan lafaz matan, disinilah kritik matan diperlukan.


Matan menurut bahasa berasal dari bahasa Arab متن yang artinya punggung jalan (muka jalan), yanah yang tinggi dan keras.[1] Menurut ilmu hadis matan adalah penghujung sanad, yakni ucapan, perbuatandan ketentuan Nabi Muhammad saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.[2] Matan disebut juga dengan isi hadis.
Sedangkan kriteria kesahihan matan hadis menurut muhaddisin tampak beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu serta konteks keadaan yang dihadapi oleh mereka. Al-Khatib Al-Bagdadi (w.463 H/1072 M), Ibnu Al-Jawzi (w. 597 H/1210 M) dan Salah Al-Din Al-Adabi adalah diantara ulama yang memberikan kritera kesahihan matan hadis. Dari pendapat-pendapat yang berkembang bisa disimpulkan tentang kriteria yang diajukan:
a. Sanadnya sahih
b. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis ahad yang sahih
c. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
d. Sejalan dengan alur akal sehat
e. Tidak bertentangan dengansejarah
f. Susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri kenabian



Kritik Matan Hadis
سنن ابن ماجه رقم 1976
كتاب : النكاح باب : ضرب النساء



حدّثنامحمّدبن يحي والحسن بن مدرك الطّحّان قالاحدّثنا يحي بن حمّادحدثّنا ابوعوانة عن داود بن عبدالله الاوديّ عن عبدالرّحمن المسليّ عن العشعث بن قيس قال:ضفت عمرليلة فلمّا كان في جوف اللّيل قام الى امراته يضربها فحجزت بينهما فلمّااوى الى فراشه قال لي يا اشعث احفظ عنّي شيئاسمعته عن رّسول الله صلّى الله عليه وسلّم لايسال الرّجل فيما يضرب امراته ....


“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya dan hasan bin Mudrik Attohani, keduanya berkata: “Telah menceritaka kepada kami Yahya bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Daud bin “Abdullah Al-Audiyyi dari ‘Abdurrahman Al musliyyi dari Asy’as bin Qois ia berkata: “Suatu malam saya bertamu kepada ‘Umar, ketika tengah malam dia mendatangi isterinya lalu memukulnya, maka saya melerai antara keduanya, maka ketika ‘Umar hendak pergi ke tempat tidurnya, ia berkata kepadaku: “Wahai Asy’As camkanlah dariku sesuatu yang aku mendengar dari Rasulullah saw. Seseorang tidak akan diminta pertanggungjawaban karena memukul isterinya………..”









1. Rangkaian Sanad


سمعت
رسول الله صلعم



عمر بن الخطاب
سمعت
اشعث بن قيس
عن
عبدالرحمن
عن
داود
عن
وضاح
حدثنا


يحي بن حماد عبدالرحمن
حدثنا

محمدبن يحي الحسن بن مدرك محمد بن خالد
حدثنا
ابن ماجه



Rangkaian sanad jalur Muhammad bin Yahya



رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
سمعت

عمر بن الخطاب بن نفيل (صحابه)
سمعت
اشعث بن قيس بن معدي كرب (صحابه)
عن
عبدالرحمن (مقبول)
عن
داود بن عبدالله (ثقةاومتقن اوعدل)
عن
وضاح بن عبدالله مولي يزيدبن عطاء (ثقة ثقة اوثقة حافظ)
حدثنا
يحي بن حماد بن ابي زياد (ثقةاومتقن اوعدل)
حدثنا
محمدبن يحي بن عبدالله بن خالد بن فارس بن ذؤيب (ثقة ثقة اوثقة حافظ)
حد ثنا
ابن ماجه



Hadis di atas telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari ketersambungan sanad maupun dari segi kapasitas dan kualitas perawi.Dengan adanya jalur pendukung, maa sanad hadis tersebut semakin baik dan kuat Singkatnya kedudukan Hadis ini Marfu’, tersambung sanadnya dan muttashil

2. Takhrij Dengan Hadis Yang Semakna
Langkah selanjutnya adalah mencari hadis yang terjalin dalam tema yang sama untuk disandingkan kepada hadis sebelumnya. Hadis yang terjalin dalam tema yang sama dengan Hadis Kitab Sunan Ibn Majah no 1976 adalah hadis yang terdapat dalam Kitab Sunan Abu Daud no 1835, karena memiliki tingkat kualitas sanad yang sama. Di samping itu terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
Mempunyai sumber sanad yang sama yakni ‘Umar bin Al-Khatab
Mengandung makna yang sama yakni Kitab Nikah
Mempunyai tema yang sama
سنن ابو داود رقم 1835
كتاب : النكاح باب : ضرب النساء


حدّثنازهيربن حرب حدثّناعبدالرّحمن مهديّ حدثّنا ابوعوانة عن داود بن عبدالله الاوديّ عن عبدالرّحمن المسليّ عن الاشعث بن قيس عن عمربن الخطاب عن النّبي صلّى الله عليه وسلّم :لايسال الرّجل فيما ضرب امراته

“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman Mahdiyyi, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Daud bin “Abdullah Al-Audiyyi dari ‘Abdurrahman Al musliyyi dari Asy’as bin Qois, dari ‘Umar bin Khattab dari Nabi saw.ia berkata: “ Seseorang tidak akan diminta pertanggungjawaban karena memukul isterinya………..”



Rangkaian sanad
عن
عن
عن
رسول الله صلعم


عمر بن الخطاب


اشعث بن قيس


عبدالرحمن المسليّ
عن
حدثنا
حدثنا
حدثنا
عن

داود

ابو عوانة


عبدالرحمن مهدي


زهير بن حرب



ابو داود

Hadis di atas juga telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dari ketersambungan sanad maupun dari segi kapasitas dan kualitas perawinya. Singkatnya kedudukan hadis di atas adalah Marfu’,muttashil dengan sanad wahid

3. Penelitian Matan Hadis dengan Pendekatan Hadis Soheh
Selain membandingkan Hadis yang mempunyai sanad yang sama dalam melakukan kritik matan, juga membandingkan hadis-hadis yang satu tema namun berbeda sanadnya. Berikut akan dibandingkan dua hadis yang berbeda sanadnya yang berisi tentang larangan memukul istri.
صحيح مسليم رقم 4286
كتاب : فضاءل باب : تبسمه وحسن عشرته

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ

صحيح البخاري رقم 4805
كتاب : النكاح باب : ما يكره من ضرب النساء


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

4. Studi Matan
a. Aspek Bahasa :
Perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). menurut muhaddisin, perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sahih.
Dari aspek bahasa, kedua hadis tersebut di atas tidak ada perbedaan makna, dan dari aspek redaksi atau lafaz perbedaan itu hanya terletak pada kata ضرب dengan يضرب karena perbedaan konteks waktu, namun secara mendasar kedua hadis tersebut semakna sama-sama memberikan legitimasi seorang suami untuk melakukan teguran berupa “pemukulan” terhadap isterinya. Maka tidak ada qishas terhadap perbuatan suaminya tersebut.

b. Syarah
شرح سنن ابي داود
قوله (ضبت) اي نزلت ضيفا عنده (فيم يضرب امراته) قيل هو عبارةعن النشوز اي لاتسال الرجل رجل ولاتعاتبه فيه لكن اذاراعى شرائطه وحده قلت ويحتمل ان يكون استفهاميه والمعنى لايقال للرجل في اي شيء ضرب امراته فقديكون لايحسن ذكره قوله ....

Perkataannya ((ضبت, yaitu saya berkunjung/ bertamu kepadanya. (فيم يضرب امراته ) dikatakan ini adalah sebagai gambaran tentang Nusyuz, yaitu seseoang tidak diminta pertanggungjawaban dan tidak ditegur/dicela tentangnya,dengan ketentuan apabila ia memelihara syarat-syaratnya atau batasan-batasannya. Menurutku (As-Sindy) boleh jadi keadaannya Istifhamiyah, dan maknanya adalah tidak perlu dikatakan bagi seseorang pada bagian mana ia memukul isterinya, maka keadaannya kadang-kadang tidak baik untuk disebutkan …..

Menjadi jelaslah bahwa kehalalan pemukulan seorang suami kepada isterinya merupakan suatu metode terakhir/pamungkas dalam memberikan nasehat dan pelajaran dengan memelihara syarat dan ketentuannya.

Dengan pendekatan Al-Qur’an
Penelitian matan dengan pendekatan Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam Islam untuk melaksnakan begbagai ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’ , maka Al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Hadis yang dapat dibandingkan dengan Al-Qur’an hanyalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad maupun dari segi matannya.
Hadis tentang legitimasi sikap seorang suami yang memukul isterinya sebagai metode dalam mendidik isteri yang bersikap nusyuz juga terdapat Al-Qur’an. [3]
الرّجال قوّمون على النّساء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم فالصّلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله والّتي تخافون نشوزهنّ فعظوهنّ واهجروهنّ فى المضاجع واضربوهنّ فان اطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا انّ الله كان عليّا كبيرا
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki0laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri[4] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).[5] Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[6]Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.[7] Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Maha Besar.”

Asbabun Nuzul
1. Adapun Asbabun Nuzul dari Q.S An-Nisa ayat 34 ini adalah suatu riwayat yang dikemukakan bahwa ada seorang wanita mengadu kepada Nabi saw.karena telah ditampar oleh suaminya. Bersabda Rasulullah saw: “Dia mesti di qishas (dibalas)”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Q.S 4 ayat 34)sebagai ketentuan mendidik isteri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qishas.[8]
2. riwayat lain menceritakan bahwa ada seorang isteri yang mengadu kepada Rasulullah saw.karena ditampar oleh suaminya (golongan anshar) dan menuntut qishas (balas). Nabi saw mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah ayat “wala ta’jal bil qur’ani min qobli an yuqdla ilaika wahyuhu”. (Q.S. 20: 144) sebagai teguran kepadanya dan ayat tersebut di atas (Q.S. 4: 34) sebagai ketentuan hak suami di dalam mendidik isterinya.[9]
3. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang anshar menghadap Rasulullah saw.bersama isterinya. Isterinya berkata: “Ya Rasulallah, ia telah memukul saya sehingga berbekas di mukaku”. Maka sabda Rasulullah saw: “Tidaklah berhak ia berbuat demikian”. Maka turunlah ayat tesebut di atas ( Q.S. 4: 34) sebagai ketentuan cara mendidik.[10]
Jelaslah bahwa seorang suami dibolehkan melakukan pemukulan terhadap isterinya karena alasan nusyuz. Pemukulan ini harus memenuhi syarta dan ketentuan sebagai berikut:
1. Ketika seorang isteri bersikap nusyuz maka tetap pendekatan dan metode pertama yang harus dilakukan suami adalah dengan musyawarah, saling menasehati dengan ucapan-ucapan terbaik dan keteladanan dengan niat yang lurus karena Allah.hal ini difirmankan Allah:[11]
ادع الى سبيل ربّك بالحكمة والموعظةالحسنة وجدلهم بالّتي هي احسن انّ ربّك هو اعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sikap santun harus menjadi dasar utama dalam menasehati seorang isteri yang dgambarkan oleh Nabi saw.
عن ابي هريرةعن النبي صلعم قال ....واستوصوابالنساءخيرا فانهن خلقن من ضلع فان اعوج شيء من الضلع اًعلاه اَذاذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اًعوج, واستوصو بالنساء خيرا.متفق عليه.[12]
Gambaran Nabi saw tentang wanita yang diibaratkan sebagai tulang rusuk yang bengkok merupakan simbol dari karakteristik wanita yang lebih emosional, siapa yang ingin meluruskannya maka haruslah dengan kesabaran dan perlahan-lahan, meluruskannya dengan paksa maka tulang akan patah namun bila dibiarkan maka tulang akan tetap bengkok.
Rasulullah saw adalah teladan bagi kita semua, sungguh indah jika suami tidak pernah memukul isterinya.
عن عا ءشه رضي الله عنها انها قالت ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده امراة .......(رواه ابن ساعد)
‘Aisyah r.a telah menceritakan bawa Rasulullah saw tidak pernah memukul seorang wanita…..[13]
Setiap suami hendaknya bersikap sabar dalam memperbaiki isteri dan keluarganya, tidak putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan, dan mengupayakan agar kehidupan rumah tangganya diwarnai nuansa kebahagiaan.
(H.R. Bukhori 4805 Bab Nikah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
Hadis ini melarang kepada suami untuk memukul isterinya seperti memukul hamba sahaya, yang ketika malam tiba isterinya digauli juga. Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas, justru hadis ini memberikan aturan dalam memukul istri, bukan dengan niat menyakiti seperti ketika memukul budak, tetapi harus dengan niat kasih sayang dan tidak ada tendensi untuk menyakiti.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hadis ini mengisaratkan kepada kita bahwa kekerasan telah menjadi bagian dalam kehidupan Arab sebelum Islam dating, begitupun dengan memukul isteri telah menjadi budaya dan kebiasaan orang-orang Arab. Setelah datang Islam, Islam sedikit demi sedikit telah mengikis budaya kekerasan ini khususnya kepada isteri, Islam merubahnya dengan proses sedemikian rupa sehingga tidak dianggapnya sebagai sesuatu yang memberatkan. Apabila pada masa jahiliyah, kekerasan dianggap yang awal dilakukan ketika ada ketidaksukaan kepada isteri, namun Islam datang dengan mengajarkan bahwa pemukulan boleh dilakukan setelah proses nasehat dan pisahranjang, Islam ingin menyampaikan sesuatu bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, kekerasan bukan jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah, dan kekerasan adalah akhir dari cara untuk menasehati isteri dengan cara yang tidak menyakitkan.
Ketika cara yang pertama seorang isteri tidak mengindahkan lagi, atau mengindahkan sesaat dan kembali melakukan nusyuz berulang-ulang kali maka cara selanjutnya adalah dengan memisahkan isteri dari tempat tidurnya. Mengenai hal ini Ibnu Hazim berkata: “Pisah ranjang itu pasti akan menimbulkan perasaan rindu.” Dan saat itulah diharapkan dari isteri ada introspeksi diri atas segala sikapnya. Pisah ranjang ini sekaligus menjadi momen berharga untuk saling mengkur kesabaran karena kesengsaraan hidup adalah ketika kita harus berpisah dengan yang dikasihi, maka akan terasa lebih bahagia saat bertemu setelah sekian lama berpisah.
Sebagai cara atau metode terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang suami terhadap isterinya yang bersikap nusyuz setelah cara pertama dan kedua tidak membuat perubahan sikap isteri adalah berupa pemukulan. Islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, namun Islam tidak memanjakan mereka. Islam juga agama yang tegas. Maka pemukulan ini merupakan bentuk sikap tegas bukan kasar dari seorang pimpinan rumah tangga, dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah dibuat, seperti; tidak boleh dengan niat menyakiti sehingga kekuatan pukulan pun harus dijaga, luruskan niat karena Allah, untuk mendidik bukan menyakiti. Kemudian batasan yang harus dijaga oleh suami adalah tidak memukul bagian muka. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullulh saw. [14]

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ

Hadis ini mengatur tentang kewajiban seorang suami kepada isterinya, dan diantaranya adalah jangan memukul muka.

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”. Inilah sepenggal ayat Allah yang memberitakan bahwa ketika seorang isteri yang bersikap nusyuz, kemudian seorang suami menasehati dengan lemah lembut lalu si isteri mentaatinya, maka tidaklah berhak seorang suami memisahkan tempat tidurnya apalagi bersikap tegas dengan memukul.

Maqoshidul Lafdzi
Kekerasan merupakan bagian kehidupan masyarakat jahiliyah termasuk dalam berumah tangga, dan bagaimana kekerasan telah menjadi cara pertama dan disenangi dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya.
Islam dating dan memperbaiki cara ini, Islammengajarkan bahwa kekerasan bukan jalan utama dan terbaik dalam menyelesaikan masalah rumah tangga, ada cara-cara lebih indah dan utama selain kekerasan.
“Memukul” dalam hadis ini sebagai sikap ketegasan dari seorang suami yang telah Allah jadikan pemimpn bagi isteri dan keluarganya, bagaimana bisa ketika sebuah keluarga dipimpin oleh seorang suami yang tidak tegas dan berani ketika isteri atau salah satu anggota keluarganya bersikap menentang syari’at, ketika rumah tangga ada gejolak, badai menerjang dan sikap-sikap jelek mulai nampak, maka sebuah sikap harus dikedepankan daripada sikap-sikap yang lain, yaitu “tegas”.
Jadi ide moral yang ingin disampaikan dalam kitab hadis Sunan Ibnu Majah no 1976 adalah sikap tegas yang harus dimiliki oleh seorang suami. Tegas tidak harus memukul apalagi ketika kita hidup dilingkungan dimana dilarang untuk memukul isteri seperti di Indonesia, karena di Indonesia memukul isteri termasuk dalam kekerasan rumah tangga dan merupakan tindakan pidana dengan hukuman penjara. Pemukulan dalam hal ini pun tidak dimaksudkan hanya memukul fisik saja, namun memukul hati dan perasaan pun bisa, misalnya dengan ancaman-ancaman Agama tentang akibat dari sikap yang dilakukan, ataupun dengan ancaman ­talak.
Wallahu a’lam bisshawab
[1] Ibn Manzur, Lisan Al-‘Arab Juz III, hlm. 434-435
[2] Muhammad Tahir Al-Jawabi, Juhud Al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif (Tunis: Mussat A. al-Karim ibn Abdullah, hlm. 88-89
[3] Lihat Qur’an, Surat An-Nisa ayat 34
[4] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[5] Maksudya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik sesuai dengan hak dan kewajibannya
[6] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri, nusyuz dari pahak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[7] Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan perkembangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hati yang bersumber dari al-Hasan
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang bersumber dari al-Hasan. Dan dai sumber Ibnu Juraij dan as-Suddi.
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari ‘Ali.
[11] Lihat Q.S 16: 125
[12] Lihat Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wa al-Marjan, no 1137
[13] Lihat Thauq Al-Hamamah, Ibn Hazim, hal 105-106
[14] Lihat Sunan Abu Daud Hadis no.1830

1 komentar:

zen alsherazy mengatakan...

assalamualaikum. ini "zainuddin"
utadz murid mtsn btm kls 1a, 2a, dan pindh..., jika ustd lupa bz lht di facebook "shufi_alfunky@yahoo.co.id" engkau adlh pelita ilmu bagiku